Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh
Mungkin tidak banyak yang kenal siapa itu Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh atau Prabu Helgeduelbek, tetapi ketika dijelaskan dia itu adalah Petruk atau Dawala (sunda), baru semua orang menyatakan tahu. Petruk adalah salah satu karakter di dunia perwayangan yang digambarkan tinggi dan berhidung panjang, muka bersih, sabar, dan setia. Dia juga memiliki karakter penurut, kurang cerdas dan kurang begitu trampil. Petruk mewakili rakyat yang lugu.
Dengan karakternya tersebut akan menjadi persoalan bila Petruk tampil menjadi pemimpin. Hal ini diceritakan dalam lakon Petruk Dadi Ratu di mana diceritakan Petruk berkuasa di Kerajaan Ngrancang Kencana setelah menemukan dan menggunakan jimat sakti Jamus Kalimasada milik Prabu Puntadewa (Yudistira).
Petruk, yang menyebut dirinya Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh, sebagai penguasa hanya mampu memahami hak, kekuasaan, kewenangan, pengikut, penghormatan, dan fasilitas istimewa sebagai seorang raja saja. Sebaliknya dia tidak memahami dibalik apa yang dipahaminya ada kewajiban, kepercayaan, tanggungjawab, mental, dan kapasitas dari seorang raja, yang tak lain adalah seorang pemimpin. Sehingga kerajaan yang dipimpinnya jadi carut marut. Orang-orang yang seharusnya dijauhkan dari tahta istananya karena merupakan virus perusak kesehatan organisasi kerajaan malah dipakai jadi hulu balang istana. Karena keluguannya dia tidak tahu orang-orang tersebut sebetulnya beban bukan asset. Bisa jadi dia arogan karena merasa sakti sehingga meremehkan adanya kekuatan negatif di dalam kerajaannya dan yakin semua masalah di kerajaan yang dipimpinnya dapat diselesaikan dengan resep obat generik yang dia punya.
Dalam lakon itu pesan moralnya adalah bahwa Petruk tidak paham bahwa untuk menjadi raja dia harus memiliki mental dan kapasitas sebagai pemimpin, sementara dia sebelumnya terus menerus dikondisikan untuk menjadi abdi yang setia, melaksanakan petunjuk dan arahan atasannya tanpa menyimpan sikap kritis sama sekali. Karena sejak awal tidak disiapkan atau menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin, maka dia tidak melatih diri membentuk kecerdasan dalam memimpin sejak muda. Ini juga sejalan dengan pandangannya bahwa untuk seorang abdidalam “profesional” yang dibutuhkan adalah petunjuk dan perintah atau sabda pandita ratu. Pemahamannya itu telah membentuk mentalitasnya sebagai mentalitas abdi dalam selamanya. Inilah mentalitas Petruk, mentalitas pelaksana.
Mentalitas Petruk selain terbiasa menunggu perintah, petunjuk dan semacamnya, juga merasa tidak punya keharusan untuk tetap mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang ditujukan untuk mempertahankan dan mengembangkan intelektualitasnya, tidak merasa perlu melatih diri dalam organisasi sehingga mengetahui macam-macam administrasi dalam macam-macam organisasi, dan juga pergaulannya terbatas dengan para punakawan di lingkungannya saja sehingga tidak berdampak besar pada perluasan wawasan pengetahuannya. Karena itu seorang Petruk kesulitan memimpin dengan ide-ide kreatif sebagai solusi atas masalah-masalah yang dia hadapi.
Dia sadar, di satu pihak ide kreatif yang andal tidak cukup dirumuskan hanya berdasarkan kebijakan-kebijakan yang ada dan pengalaman-pengalaman pribadi semata, tetapi diperlukan wawasan pengetahuan yang lazimnya dimiliki oleh seorang intelektual, namun di lain pihak dia sadar kecakapan atau kapasitas seorang intelektual tidak dia memiliki, oleh sebab itu kekuasaannya yang hanya singkat dia gunakan untuk mendapatkan kenikmatan dunia saja, tanpa visi dan misi layaknya seorang pemimpin. Dia memimpin hanya bermodalkan jimat sakti Jamus Kalimasada
Intelektual
Mengapa keintelektualan penting bagi seorang pemimpin? Intelektual adalah seseorang yang memiliki spektrum pengetahuan yang luas, tidak terbatas pada satu bidang ilmu pengetahuan saja. Pengetahuan seorang intelektual didapatnya dari minat, ketekunan membaca dan menikmati banyak ragam bacaan, serta pengalaman dan pergaulan yang luas yang bersifat mencerahkan dan mencerdaskan. Jangan diharap menjadi intelektual jika pengetahuannya hanya berasal dari membaca buku teks saat kuliah, pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam kebijakan-kebijakan publik atau yang berasal dari pendidikan kedinasan saja, atau pergaulan yang terbatas pada orang-orang yang berada dalam satu lingkungan kegiatan sehari-hari saja -seperti katak dalam tempurung. Karena ada syarat akumulasi ragam pengetahuan yang ketat ini, maka seseorang tidak sertamerta menjadi intelektual hanya karena telah bergelar master atau bahkan doktor, sedangkan dia tidak punya tradisi membaca banyak ragam bacaan yang sudah mendarah daging. Intelektualitas seseorang adalah fungsi dari akumulasi dan ragam pengetahuannya, artinya seseorang yang akumulasi dan ragam pengetahuannya tinggi akan memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi pula. Tidak ada kecerdasan-kecerdasan lain tanpa memiliki terlebih dahulu kecerdasan intelektual, dengan kata lain: kecerdasan intelektual an sich merupakan qonditio sine qua non bagi kecerdasan lainnya, sehingga keliru kecerdasan intelektual dibanding-bandingkan dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya.
Kecerdasan intelektual seseorang mampu mengubah pengalamannya sendiri atau orang lain menjadi pengetahuan, sehingga sebuah pengalaman atau kebiasaan-kebiasaan (tacit knowledge) bisa menjadi ide atau pengetahuan (explicit knowledge) yang bisa dipahami dan dimanfaakan oleh orang lain. Kecerdasan intelektual juga akan membuat seseorang mudah mengerti atau menemukan teori, prinsip, atau tesis apa yang sedang berlaku di suatu tempat atau dalam suatu sistem dan dalam suatu kebijakan dan menemukan ide-ide baru. Produktifitas dan kualitas dari ide-ide adalah alat ukur paling sahih bagi kecerdasan intelektual.
Seorang intelektual adalah pribadi yang inklusif dengan pengetahuan atau ide-ide karena itu disebut man of ideas. Bahkan keberadaan seorang intelektual adalah karena ide-idenya dan dengan demikian cogito, ergo sum Rene Descrates itu moto hidup kaum intelektual. Meskipun seorang ilmuwan juga hidup karena ide-idenya namun antara intelektual dan ilmuwan terdapat perbedaan pada cara pengabdiannya, di mana seorang ilmuwan mengabdikan ide-idenya untuk kemajuan peradaban umat manusia melalui cabang-cabang ilmu tertentu, sedangkan intelektual mengabdikan ide-idenya untuk kemajuan peradaban umat manusia secara lebih fleksibel atau generalis, meski tidak berarti tidak ada cabang ilmu tertentu sebagai “kampung halamannya”.
Post a Comment